Selasa, 05 Mei 2009

Partai Golkar Mempertaruhkan Martabat

Dinamika politik berkembang cepat. Menjelang Rapimnas Khusus Partai Golkar yang digelar hari ini di Jakarta, Dewan Pengurus Pusat kemarin mengambil sikap untuk menghentikan proses koalisi dengan Partai Demokrat dan memberi wewenang kepada ketua umum untuk membuka koalisi dengan partai-partai lain. Yang terjadi di tubuh partai pemenang Pemilu 2004 itu bukanlah konflik atau friksi melainkan lebih kepada kegamangan untuk mengambil langkah setelah perolehan suaranya dalam Pemilu Legislatif 9 April lalu merosot tajam. Menggalang koalisi dengan Partai Demokrat sebagai pemenang lebih diinginkan tetapi rupanya belum berhasil.

Kunci masalahnya ada pada ketidaksepakatan figur calon wakil presiden. Partai Demokrat dan SBY meminta agar Partai Golkar menyodorkan beberapa nama untuk dipilih sebagai cawapres. Sementara elite Partai Golkar berusaha mengegolkan lagi duet SBY-Kalla untuk pilpres bulan Juli mendatang. Bagaimana pun rapimnas khusus hari ini yang akan mengambil keputusan. Bisa jadi partai itu akan benar-benar meninggalkan Demokrat ataukah masih ada opsi lain yang bisa menggiring kembali ke arah koalisi. Alternatif lain adalah bergabung dengan PDI-P dengan risiko juga gagal atau membangun poros baru yang akan mengusung Jusuf Kalla sebagai capres.

Sesungguhnya yang sedang dipertaruhkan sekarang adalah martabatnya sebagai sebuah partai besar yang relatif paling tua dan berpengalaman. Kecepatan bermanuver setelah mengetahui hasil pemilu legislatif merupakan langkah penting. Hanya saja kalau tidak berhati-hati justru akan membuat partai ini terpuruk dan terjebak hanya sebagai pemburu kekuasaan saja, untuk tidak mengatakan ”meminta-minta” agar tak tertinggal dari gerbong pemerintahan. Kebetulan sejak lahir hingga sekarang partai itu memang tak memiliki tradisi oposan. Pada Pilpres 2004 partai itu kalah tetapi kemudian Wapres Jusuf Kalla terpilih menjadi ketua umum.
Situasi dilematis partai kali ini membuat segala sesuatunya tidak mudah. Di satu sisi ada desakan kuat agar partai tersebut konsisten dengan pencalonan Jusuf Kalla sebagai capres seperti yang sudah dicanangkan sebelum pemilu legislatif. Apa pun risikonya termasuk kemungkinan kalah harus dihadapi secara berani dan bermartabat. Namun di sisi lain realitas politik terkait dengan perolehan suara pemilu legislatif dan relatif kecilnya elektabilitas Jusuf Kalla sebagai capres, dilihat dari berbagai hasil survei, memaksa sebagian elite untuk bersikap realistis sehingga segera mendekat ke Demokrat untuk bisa dipasangkan lagi dengan SBY.

Sayang hal itu tidaklah semulus yang dibayangkan. Kecuali perubahan sikap Partai Demokrat terkait dengan posisi wakil presiden, gejolak internal di partai berlambang beringin yang meminta ketua umumnya mempertanggungjawabkan kekalahan Golkar juga cukup kuat. Artinya partai tidak bulat mendukung Kalla maju sebagai capres maupun cawapres. Inilah yang rupanya mendorong DPP Partai Golkar untuk segera mengambil sikap agar ketika menghadapi rapimnas khusus hari ini sudah mempunyai bekal yang lebih pasti. Apa pun bentuknya, sikap tegas dan keputusan harus diambil dengan lebih mengedepankan harga diri dan martabat partai.

Banyak pengamat menyarankan agar partai itu tak terjebak pada kepentingan jangka pendek atau pragmatisme politik untuk tetap berada di kekuasaan. Memikirkan pengembangan partai dalam lima tahun ke depan agar bisa kembali meraih kemenangan atau setidaknya meningkatkan dukungan rakyat jauh lebih strategis. Memang tidak sedikit yang meragukan apakah mereka siap berada di luar pemerintahan baik sebagai kekuatan oposisi atau bersikap netral di parlemen. Semua itu tentu harus menjadi pemikiran secara internal. Yang utama kepentingan partai dan yang lebih memberi prospek baik ke depan mesti lebih diutamakan.


Nama : Adhitya Pandu Murti

NIM : 153070228

Kelas : A

Tugas : Penulisan Berita ( Tajuk Rencana )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar