Selasa, 28 April 2009

Wakidi Penjual Balon Tanpa Sebuah Kaki

Terik siang matahari tak menyurutkan niat wakidi untuk menafkahi keluarganya. Peluh yang dikeluarkan tidak sebanding dengan apa yang dia terima. Dia yang hanya mengandalkan satu kakinya untuk menyusuri jalan, menjajakan dagangan balonnya demi sesuap nasi. “saya terkadang berjualan balon naik sepeda, mengandalkan satu kaki, bahkan tak jarang saya juga jalan dari pojok beteng sampai sini, siapa tahu diperjalanan ada yang membeli balon saya. Bagaimanapun caranya, saya tetap berusaha. Demi kluarga saya”.

Demikian prinsip hidup bapak Wakidi (41) yang bertempat tinggal di pandak, Bantul. Seorang penjual balon keliling yang tetap berusaha untuk menafkahi istri dan ketiga anaknya walaupun hanya mengandalkan satu kaki. Dialah yang menjadi satu-satunya tulang punggung bagi keluarganya. 20 tahun sudah dia berkeliling menyusuri jalan dari satu kampung ke kampung lain untuk berjualan balon. Pagi menjelang hingga akhirnya berganti malam Wakidi mengais rezekinya paling tidak untuk makan satu keluarga di hari itu.

Dia mengaku penghasilannya sehari tidak cukup untuk membiayai kebutuhan anak dan istrinya, terlebih lagi untuk membiayai kedua anaknya di bangku sekolah. “bagaimana mau cukup mbak, lha wong seharinya saja saya paling mentok cumin dapat 20 ribu rupiah. Itu saja paling cumin cukup buat makan satu keluarga sehari” tuturnya.

Namun meskipun begitu, Wakidi tetap berusaha membanting tulang walaupun dengan keadaan yang hanya memiliki satu kaki ini.

Setiap hari dia berkeliling dengan ditemanai tongkat kayu setianya untuk menjajakan balon. Terkadang dia berjualan di pasar Bantul, sepanjang jalan Malioboro, namun penghasilannya tak lain dan tidak bukan tetap 20 ribu. “saya lebih sering mangkal di pasar Beringharjo sini, karena terkadang balon saya laris terjual” tambahnya.

Supardi (32) penjual mainan anak-anak di pasar Beringharjo mengaku sudah lama mengenal Wakidi. “Wakidi sudah lama berjualan di sini. Terkadang saya dan dia sama-sama berjualan di sini. Dia orang yang baik, jujur dalam berusaha. Dan semangatnya itu yang terkadang saya malu dengan diri saya sendiri” ungkapnya.

Walaupun jalan hidup Wakidi yang seperti ini, namun dia mempunyai suatu cita-cita. Yaitu menginginkan kehidupan anak-anaknya lebih enak darinya. Dan dia berharap tetap dapat menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya sampai selesai agar tidak sengsara sepertinya.


Nama : Nastiti puspitaningtyas

No. Mahasiswa : 153070159
Kelas : A
Tugas : Penulisan Berita

Kemad : Sang Musisi Buta

Namanya Kemad.Ia mengarungi dunia tanpa memiliki mata terbuka.Setiap hari ia mengais rejeki dengan mengamen di salah satu sudut Malioboro.Kebutaan tak menghambat bakat musiknya yang luar biasa.Bermodalkan angklung,nada indah terlantun seiring rupiah mengalir ke dalam kaleng kecil yang ia sediakan dari setiap pejalan kaki yang menghargai bakatnya atau sekedar merasa iba.

Penampilannya sederhana bahkan bajunya terlihat kotor,namun kemampuannya bermusik jangan ditanya.Kemad mengaku bisa memainkan semua jenis lagu yang didengarnya dengan alat musik kesukaannya yaitu angklung.”Sudah bertahun-tahun saya ngamen disini”,ungkap Kemad.

Lelaki paruh baya tersebut menjajakan musik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari .Penghasilan yang didapat tidaklah pasti,kadang dapat lumayan namun tak jarang hanya dapat sedikit.Ketika ditanya jumlahnya,Kemad menolak mengungkapkan nominal penghasilan yang ia dapat.”Pokoknya ,dapatnya gag pasti”,jelas Kemad.

Setiap hari Kemad berangkat pagi –pagi dari rumahnya yang terletak di daerah Minggiran menuju tempatnya melakukan “konser” jalanan dengan menggunakan becak.Ketika sore beranjak dengan becak pula ia kembali ke rumah.

Kemad adalah seorang autodidak,kemampuan bermusiknya didapat dengan belajar sendiri.”Saya belajar musik sendiri,tidak ada yang mengajari sudah bisa sendiri”,kata Kemad.Ia menambahkan,”Saya kan seniman”.Sebagai seorang seniman,Kemad mengaku bisa memainkan semua lagu yang pernah ia dengar.”Semua lagu saya bisa mainkan”,tambah Kemad.

Sebuah gang kecil di sudut Malioboro menjadi saksi bisu bagaimana Kemad mengadakan sebuah pertunjukan seni .Dengan instrument angklung yang sederhana mencoba menari perhatian hiruk pikuk orang yang ramai berjalan.Kemad tidak pernah mengeluh mengenai keadaanya.

Menurut Amir,seorang pedagang rokok keliling yang sudah lama berjualan di Maliobor Kemad adalah seorang yang gigih berjuang.”Sejak dulu saya selalu melihatnya mengamen di sana”,ungkap Amir.”Tapi kemarin ia kayaknya enggak ngamen”,kata Amir.

Perjuangan Kemad patut diacungi jempol,kendati ia buta namun ia memilih untuk menjual kemampuan bermusiknya ketimbang sekedar mengemis memohon belas kasihan dari orang lain.


Nama : Masenda.M

No : 153070145

penjual angkringan sebelah gedung DPRD malioboro

Pak Darmono adalah seorang penjual makanan dengan angkringan, beragama Islam, lahir di Klaten pada tanggal 20 Maret 1964. Pada waktu wawancara dilakukan ini berarti Pak Darmono berusia 39 tahun. Pak Darmono sudah menikah secara resmi pada tahun 1995 dengan istri kedua yang bernama Aminah, yang lahir pada tahun 1980 dan sekarang berusia 23 tahun. Dari pernikahannya ini, Pak Darmono dikaruniai seorang anak yang baru berusia 2 tahun. Dengan demikian, anak Pak Darmono sebenarnya ada dua. Anak pertama dari istri pertama seorang laki-laki sudah lulus SMU tahun 2003 ini. Anak pertamanya berusia 18 tahun, terpaut dua tahun lebih muda dari istrinya. Pendidikan terakhir Pak Darmono sendiri adalah SLTA di Klaten dan lulus pada tahun 1984. Saat ini pak Darmono sekeluarga berdomisili di Jogoyudan Rw XX / YY Yogyakarta.

Pekerjaan pokok Pak Darmono pada saat ini adalah sebagai pedagang angkringan, sedangkan pekerjaan Bu Aminah istrinya adalah ibu rumah tangga dan membantu suami (Pak Darmono) di angkringan. Adapun waktu pekerjaan pokok (buka) Pak Darmono di angkringan ada 10 jam yaitu dari pukul 17.00 WIB s.d. pukul 03.00 WIB. Pada jam tersebut, Pak Darmono akan dibantu oleh Bu Aminah istrinya, Mas Paimin keponakannya, dan Bu De-nya, apalagi kalau pengunjung dan atau pembelinya banyak atau kalau Pak Darmono sendiri sedang ada urusan yang lain.

Pekerjaan persiapan dimulai dari pagi hari, dengan waktu yang tidak tentu, dan yang membantu menyiapkan dagangan ini adalah Bu De-nya dan Mas Paimin keponakannya. Pak Darmono sendiri baru terlibat dalam pekerjaan persiapan ini setelah pukul 11.00 WIB, karena waktu sebelum itu, tepatnya pukul 04.00 WIB sampai dengan pukul 11.00 WIB merupakan waktu istirahat bagi Pak Darmono.

Hari istirahat (tidak buka) untuk Pak Darmono sebagai pedagang angkringan tidak menentu, hanya pada hari-hari besar, seperti lebaran, dan kalau ada keperluan keluarga. Pak Darmono juga memiliki pekerjaan sampingan yaitu sebagai petani di tanah kelahirannya Klaten. Tapi pekerjaan ini dilakukannya hanya pada saat-saat tertentu; saat tenaganya diperlukan oleh keluarganya, dan atau ia ingin melakukannya.

Dalam hal persiapan, menu yang bersifat “basah” seperti nasi, sayur, dan makanan pokok lainnya disiapkan / dimasak sendiri oleh keluarganya, sedangkan untuk menu yang bersifat “kering” seperti kerupuk, roti, kue-kuean, dan kacang, merupakan titipan orang, dan ada juga yang dibeli di pasar.

Angkringan Pak Darmono unik sebab cara penyajian nasi sayurnya tidak dengan bungkusan-seperti angkringan pada umumnya tetapi dengan piring, dan nasinya akan tetap panas karena disimpan dalam termos nasi. Harganya juga berbeda yaitu Rp. 1500/piring.

Langganan tetap Pak Darmono di angkringan adalah para sopir taksi, tukang becak, karyawan kantor yang buka sore, beberapa pedagang klithikan, dan warga sekitar. Sedangkan langganan tidak tetapnya -tapi cukup banyak, yaitu para pejalan pedestrian yang lewat di sana.

Status gerobak yang dipakai oleh Pak Darmono adalah milik sendiri, dan semuanya berjumlah dua buah. Gerobak yang satunya “mangkal” di depan pasar Kranggan, dan bersifat permanen, karena diparkir di sana saat dagangannya tutup. Sedangkan gerobak Pak Darmono yang berada di jalan Mangkubumi bersifat tidak permanen karena pada saat dagangannya tutup akan di parkir di bekas kantor Departemen Tenaga Kerja yang secara fisik bangunannya sudah rusak. Walaupun begitu, orang lain (sesama pedagang), tidak akan merebut lokasi yang sudah ditempatinya, karena lokasi tersebut sudah menjadi “milik” pak Darmono menurut kesepakatan mereka, sesama pedagang.

Pak Darmono sendiri memiliki pengalaman kerja sebagai petani di Klaten sejak usianya masih kecil, karena memang kedua orang tuanya adalah petani. Bahkan sampai saat ini Pak Darmono masih menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan, saat tenaganya dibutuhkan, dan atau saat ia ingin melakukannya. Pada saat ia pergi bertani, maka yang akan menjaga angkringan adalah Bu De-nya, juga oleh istrinya dan Mas Paimin keponakannya.

Riwayat usaha angkringan pak Darmono dimulai ketika ia diajak oleh temannya pada tahun 1980-an. Mereka lalu bersama-sama menjual makanan angkringan di Semarang; sampai pada akhirnya pada tahun 1988 usaha angkringan Pak Darmono tersebut pindah ke Yogyakarta sampai sekarang yang berada di jalan malioboro tepat nya sebelah gedung DPRD.


Nama:Pratika Vanda Kumala

Nim :153070397

wanita penjual es dawet dipinggiran malioboro

Malioboro adalah salah satu daya tarik dari kota yogyakarta,belum pas rasanya apabila kekota yogyakarta belum mengunjungi malioboro.dipinggiran malioboro banyak kita temukan pedagang-pedagang yang menjajakan dagangan mereka,seperti pedagang pakaian,tas,sandal,pedagang asongan,loper koran,penjual makanan dan minuman,serta masih banyak lagi.

Dipinggiran pelataran malioboro,seorang wanita berumur separuh baya sedang sibuk melayani pembeli,dialah sumari wanita yang berumur 37 tahun ini telah kurang lebih 14 tahun berjualan es dawet dipinggiran malioboro,dengan menggunakan sebuah gerobak yang diatasnya terdapat kendi-kendi kecil berisikan es-es dawet yang siap untuk dijual.terik sinar matahari yang panas tidak mematahkan semangat sang ibu untuk mengais rezeki.

Sumari memulai usahanya berjualan es dawet dimalioboro sejak tahun 1995,penghasilan yang didapatpun tidak menentu,''Yah,kalo lagi rame-ramenya sehari saya bisa dapat duit 80.000-100.000 gt,tapi kalau lagi sepi yah cuma dapat 35.000-50.000an gt,yah lumayanlah mbak buat makan keluarga sehari-hari"ujar sumari.

Ibu yang memiliki 3 orang anak ini berjualan es dawet untuk membantu perekonomian keluarganya,maklum suami ibu sumari hanyalah tukang becak,apabila ibu sumari hanya berpangku tangan dirumah maka kebutuhan hidup mereka tidak akan terpenuhi,sedangkan ke3 anak ibu sumarimasih bersekolah dan memerlukan biaya.

Banyak suka duka yang dialami ibu sumari selama berjualan es dawet,yaitu apabila cuaca sedang terik atau panas maka es dawet ibu sumari akan laku terjual,dan dukanya apabila sedang musim hujan,dagangan akan sepi oleh pembeli,sehingga daganganya tidak terjual habis dan akhirnya ibu sumari harus membuang dagangan esnya yang tidak laku terjual.ibu sumari berjualan es dawet dimalioboro hampir tiap hari,dia membuka daganganya sejak pukul 09.00-16.00 sore.

Harapan ibu sumari tidaklah muluk-muluk"saya jualan es dawet itu,cuma buat bantu-bantu suami supaya kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi,bayar sekolah anak-anak,dan bisa hidup layak kaya orang''ujar sumari.

Inilah salah satu contoh fenomena kehidupan pedagang-pedagang dipinggiran malioboro yang mengais rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

LASNI ROHA MARBUN (153070074)

Senin, 27 April 2009

Legian Resto Bali dikota Malioboro

"Restoran ini dahulu menjadi icon bali yang berada dikota jogjakarta sebelum kejadian peledakan di Legian kuta bali 4 tahun yang lalu.Bu Vita adalah pemilik dari resto ini yang tetap melanjutkan usahanya demi menarik wisatawan asing yang sedang berlibur di indonesia,tepatnya di Jogjakarta."

Restoran ini pertama kali didirikan pada tanggal 23 juni 1978 dimana saat itu bu vita masih berstatus pelajar sekolah menengah atas.wanita 53 tahun ini sengaja menciptakan resto yang bernuansa kan bali karena terinspirasi dari pengalaman keluarga mereka yang sering berlibur di bali.Restoran yang bernama legian ini menyediakan masakan khas dari bali yaitu ayam betutu yang sangat digemari para wisatawan asing khususnya Eropa,resto ini menggunakan koki langsung dari Eropa ujar bu Vita.
30 tahun sudah resto ini berdiri,prestasi yang membanggakan ialah menjadi tempat makan kesukaan pakar kuliner Pak Bondan winarno.

Wisnu (32) pria asal bali itu merasa resto ini merupakan rumah kedua karena tidak perlu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk pulang ke bali pengakuannya.Disamping keberadaan resto ini Winarno (41) warga asli sleman menerangkan bahwa 3 tahun bekerja sebagai supir taksi didepan resto legian,pemilik resto ini sering memberikan objekan pada supir-supir taksi untuk mengantarkan wisatawan ke tempat wisata lain di jogjakarta.

Nama : Adhitya pandu murti
NIM : 153070228
Kelas : A
Tugas : Penulisan Feature


Minggu, 26 April 2009

Menyambung Hidup Dengan Batangan Rokok [Feature News]

Sudah hampir 20 tahun,Siswanto menjajakan barang dagangannya di kawasan Malioboro.Berangkat dari pesisir di daerah Kokap,Kulonprogo,bapak dengan dua anak ini mencari keberuntungan di kota.


Awalnya,Siswanto membuka warung untuk mendapatkan penghasilan di kampungnya,Kokap Kulunprogo.Warung cinderamata,seperti kalung yang terbuat dari kerang,hiasan dinding,dan lain-lain.Itulah awal penghasilan dari seorang Siswanto.Namun,karena pendapatannya yag sedikit,pria kelahiran Kokap,Kulonprogo ini mulai berpikir untuk beralih profesi.Melalui masukkan dari istri dan anak pertamanya,Siswanto memantapkan diri beralih profesi menjadi seorang pedagang rokok keliling.


Dengan bekal modal yang di dapat dari membuka warung dulu,Siswanto mulai mencari keberuntungan di kota.Berangkat dari rumahnya,di pesisir selatan Yogyakarta,Siswanto tidak langsung menuju ke Malioboro.Dengan bis kota yang paling awal,beliau memulai harinya mencari penghasilan menuju Terminal Giwangan.Setelah dari Terminal Giwangan,Siswanto berganti angkutan menuju ke Jalan Solo.”Istilahnya cari penghasilan awal sat jalan dari Jalan Solo menuju ke Malioboro itu,mas.”jelas Siswanto.


Pendapatan dari berjualan rokok keliling bisa dikatakan tidak menentu.Kadang membawa penghasilan yang banyak,namun kadang pula penghasilan yang didapat juga kecil.”Tidak tentu,mas.Kadang-kadang membawa uang banyak,biasanya seperti ini disaat musim liburan itu,mas.tapi,kalau lagi sepi,apalagi musim hujan seperti ini,uang yang didapat juga kecil.Paling-paling hanya cukup buat membeli beras saja.”ucapnya dengan nada yang rendah.


Keamanan Malioboro yang banyak dikeluhkan oleh para pedangang kaki lima di Malioboro juga dirasakan oleh Siswanto.”Sesekali masih ada juga orang sini (preman-red) yang meminta uang jatah keamanan gitu,mas.”terangnya.Siswanto juga menambahkan,”Kan kita sama-sama mencari uang untuk makan.Jika terus-terusan dimintai jatah,pendapatan saya kan menjadi berkurang,istri dan anak-anak saya terus mau makan apa ?”


Mungkin bagi sebagian orang,sepenggal kisah dari Siswanto ini dapat dijadikan sebuah pelajaran,bagaimana kegigihan seorang yang mencari keberuntungannya di kota demi menafkahi anak dan istrinya.(ngga)


Nama : Rengga Oktabiarto

No. Mahasiswa : 153070211
Kelas : A
Tugas : Penulisan Berita